Bandung – Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyampaikan usulan terkait desain mekanisme penegakan hukum pemilu dan pemilihan dalam diskusi bersama media bertajuk “Kupas Tuntas Rencana Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan” yang digelar di Media Center Bawaslu RI Jakarta, Kamis (8/5/2025).
Dalam paparannya, Bagja mengusulkan agar Bawaslu memiliki fungsi quasi peradilan dalam menangani perkara pemilu maupun pemilihan tanpa membedakan rezim, sehingga putusan Bawaslu memiliki kekuatan mengikat secara langsung. Selain itu, ditegaskan pula perlunya kewajiban kepatuhan hukum terhadap putusan Bawaslu dan lembaga peradilan, serta pengutamaan sanksi administrasi ketimbang sanksi pidana.
“Jenis upaya penegakan hukum yang satu menjadi pijakan untuk dapat mengajukan upaya hukum lainnya. Atau menjadi dasar formil dalam pemeriksaan dan putusan pada tahap penegakan hukum selanjutnya,” jelasnya.
Bagja juga menekankan pentingnya membentuk kerangka penegakan hukum pemilu yang saling terhubung, mulai dari penyelesaian pelanggaran administrasi dan sengketa di Bawaslu, gugatan TUN pemilu di Pengadilan TUN, hingga perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks tantangan pemilu modern, Bagja menyoroti kebutuhan sistem pengawasan yang lebih kuat, proaktif, dan responsif, khususnya terhadap isu politik uang, disinformasi digital, dan netralitas aparatur negara. Ia juga mendorong transparansi penanganan pelanggaran melalui pemanfaatan sistem informasi digital.
“Transparansi penanganan pelanggaran administrasi melalui sistem informasi digital yang memungkinkan publik memantau proses, memperkuat kepercayaan publik terhadap proses hukum pemilu,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua KPU RI Mochammad Afifudin mengungkapkan bahwa pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 berdampak pada kesiapan penyelenggara. Ia menyebut bahwa tahapan yang beririsan menimbulkan tantangan tersendiri.
“Tahapan pemilu belum selesai sudah masuk tahapan pemilihan. Desain keserentakan membuat penyelenggara harus berkejaran dengan waktu dan membagi konsentrasi kepada pemilu dan pemilihan,” ungkapnya.
Quasi Peradilan dalam Penegakan Hukum Pemilu
Istilah quasi peradilan atau quasi-judicial merujuk pada kewenangan lembaga di luar struktur peradilan formal untuk menyelesaikan sengketa atau pelanggaran melalui proses yang menyerupai pengadilan. Meskipun Bawaslu bukan lembaga yudisial seperti pengadilan umum atau Mahkamah Konstitusi, Bawaslu diberi mandat oleh undang-undang untuk memeriksa, menilai, dan memutus sejumlah perkara dalam konteks pemilu. Hal ini mencakup penyelesaian sengketa proses pemilu antar peserta maupun antara peserta dan penyelenggara, penanganan pelanggaran administratif, hingga rekomendasi atas pelanggaran pidana pemilu.
Kewenangan ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang memberikan Bawaslu otoritas dalam menyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran secara hukum. Dalam praktiknya, Bawaslu memanggil para pihak yang bersengketa, melakukan pemeriksaan terbuka, dan kemudian mengeluarkan putusan. Namun, salah satu tantangan utama dalam mekanisme ini adalah belum sepenuhnya mengikatnya (binding) putusan Bawaslu secara langsung, terutama jika tidak diikuti oleh lembaga lain seperti KPU, Pengadilan Tata Usaha Negara, maupun Mahkamah Konstitusi.
Quasi peradilan yang kuat dinilai penting dalam menghadapi tantangan kontemporer dalam pemilu, seperti politik uang, disinformasi digital, serta keterlibatan aparatur negara. Untuk mendukung itu, transparansi juga menjadi aspek penting. Bagja menyebut perlunya sistem informasi digital yang memungkinkan publik memantau langsung proses penanganan pelanggaran, sebagai bentuk pertanggungjawaban dan upaya membangun kepercayaan publik terhadap proses hukum pemilu.
Praktik serupa juga dapat ditemukan di beberapa negara lain. Misalnya, di India dan Filipina, lembaga pengawas pemilu seperti Election Commission of India dan COMELEC (Commission on Elections) memiliki kewenangan quasi yudisial yang kuat, termasuk kemampuan untuk membatalkan hasil pemilu lokal atau menjatuhkan sanksi administratif yang langsung berlaku. Model ini menjadi acuan penting dalam merumuskan penguatan fungsi serupa di Indonesia.
Penulis: Jihad Khufaya
Foto: Bawaslu RI
Sumber: Berbagai sumber
Editor: Andhika Pratama









