Bandung - (20/10) Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Bawaslu memilki fungsi pencegahan, pengawasan, penanganan pelanggaran, pengawasan netralitas ASN, dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Oleh karena itu pengawasan ini memerlukan partisipasi aktif masyarakat dan pengawasan yang dilakukan masyarakat secara langsung itu sangat mempengaruhi kualitas demokrasi itu sendiri sebagaimana yang disampaikan Anggota Bawaslu Jawa Barat, Zaki Hilmi pada saat membuka Kegiatan Sosialisasi Pengawasan Fenomena Politik Identitas pada Pemilu 2024 di Bandung, Kamis (20/10). Tidak ada demokrasi tanpa partisipasi masyarakat tegas Zaki.
Saat ini bawaslu sedang merancang Indeks Kerawanan Pemlu (IKP) tahun 2024. Dalam IKP ini terdapat 4 dimensi yang menjadi indikatornya yaitu Aspek Penyelenggara dan penyelenggaraannya, aspek sosial politik, aspek Kontestasi dan aspek partisipasi.
"Hal yang cukup menarik dikaitkan dengan penyusunan indeks kerawanan Pemilu, Jawa Barat memiliki pemilih terbesar dan memiliki konsekuensi ekskalasi pemilih yang dinamis. Nampaknya konteks penggunaan media sosial ditarik lebih umum pada siber melalui pengunaan internet dan media sosial membawa dinamika yang bersifat positif dan negatif", Terang Zaki Hilmi.
"Negara wajib melindungi harkat martabat warga negara. Pada sisi lain pemahaman kita tentang tantangan di 2024 ini pada sisi kerawanan politik identitas ini membuat kita semua terutama kami di Bawaslu penting untuk melakukan komunikasi dengan para tokoh sejak awal. Paling tidak hal yang menjadi catatan kita, politik identitas adalah politik yang lebih menekankan pada perbedaan-perbedaan/tanda khas dari seseorang yang sejatinya perbedaan itu diciptakan Tuhan. Perbedaan secara islam adalah rahmatan lil alamiin yakni rahmat kebaikan bagi semua".
"Kemudian politik identitas sebagai strategi politik ini lebih mengedepankan pada ikatan primordial yang gerakannya menjadi aras utama. Bahwa seseorang wajib berkeyakinan tapi keyakinan tersebut tidak boleh menegasikan keyakinan orang lain. Kemudian hal yang paling mencuat sekali dari politik identitas: masyarakat kehilangan nalar kritis dan objektif. Padajal kualitas pemilu membutuhkan hadirnya nalar kritis. Misal rekam jejak seseorang harus dilihat dari integritas prestasi dan visi misi", Ujar Kordinator Pengawasan Bawaslu Jabar,
Dampaknya nalar objektif dalam memilih terabaikan dalam melakukan pilihan politik. Nalar pemilih saat ini pilihan pragmatis yaitu atas dasar mendapatkan apa dan Pilihan rasional yaitu didasarkan pada pemenuhan syarat dan kapabilitas. Hal lainnya dari dampak politik identitas adalah pemilu menjadi tidak berkualitas. keberagaman ini sejatinya untuk kebaikan dan kedamaian umat manusia, tetapi firman Tuhan yang suci itu di tangan tafsir politik menjadi sebaliknya itu malah menjadi alat pembunuh bagi kemanusiaan.
Yang selanjutnya stigma negatif bahwa seseorang ketika ingin memenangkan pemilu pada prakteknya masyarakat tidak disodorkan pada kontestasi visi misi dan Capaian kinerja, tapi masyarakat disodorkan pada pilihan yang tanpa keunggulan-keunggulan. Dampak selanjutnya adalah mengikis kebinekaan. Perbedaan suku agama ras menjadi pengikat yang mengukuhkan bukan memisahkan.
"Pengawasan langsung oleh masyarakat sangat mempengaruhi kualitas demokrasi ditengah tantangan politik identitas yang berpotensi terjadi pada Pemilu 2024" ungkap Zaki Hilmi
Politik Identitas pada Pemilu 2024 penting kita lakukan pencegahan dengan partisipasi organisasi keagamaan mengingat berdampak pada masyarakat pemilih menjadi kehilangan nalar dan daya kritis, Pemilu menjadi tidak berkualitas, dapat menciptakan stigma negatif, dapat mengikis kebhinekaan, serta menimbulkan potensi konflik sosial dan disintegrasi bangsa, sambungnya.
Sementara Prof. Dr. Fauzan Ali Rasyid selaku narasumber berpendapat bahwa politik identitas tidak dapat dihentikan namun dapat diturunkan tensinya dengan Supremasi Hukum, kesepakatan elit politik untuk tidak mengembangkannya dan kesadaran masyarakat agar tidak terpancing isu isu SARA.









